Sore itu, kejenuhan kota mencengkeram. Rutinitas terasa seperti labirin tanpa jalan keluar. Tetapi, di tengah kebingungan itu, motor saya membawa saya ke sebuah oase kecil: angkringan di kawasan BSD. Bukan gemerlapnya kota, melainkan kesederhanaan dan kebersihan tempat itu yang menarik perhatian.
Bagi saya, angkringan bukan sekadar tempat makan murah. Ia adalah pilihan untuk merasakan kembali panggung interaksi manusia ditengah banyaknya manusia yang tenggelam dalam ponsel dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Bertemu wajah-wajah baru, mendengar cerita-cerita asing, membuka jendela ke dunia yang belum pernah saya lihat. Di tempat ini, di tengah asap bakaran yang mulai mengepul, saya memesan jahe panas—tanpa banyak gula, kebiasaan yang sudah saya lakukan untuk entah berapa tahun terakhir ini.

Angkringan itu masih sepi, baru buka. Bara api pun belum sepenuhnya membara. Oleh karena itu, obrolan dengan penjualnya pun mengalir begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa gangguan pembeli lain yang ingin dilayani. Di dunia yang serba formal ini, obrolan jujur dan spontan seperti ini terasa begitu menyegarkan.
Usianya 26 tahun, berasal dari Klaten. Ia bercerita tentang bagaimana ia menggantikan penjual sebelumnya yang memilih kembali ke kampung halaman setelah menikah. Angkringan yang ia jaga ini hanyalah satu dari sekian banyak cabang. Tetapi, di balik pekerjaannya saat ini, tersimpan sebuah impian sederhana: pulang kampung dan membuka angkringan sendiri.
“Lima juta saja, Mas, saya pulang,” ujarnya dengan nada santai namun mantap. “Buka angkringan sendiri di kampung. Saya yakin bisa jalan.” Lima juta. Sebuah angka yang mungkin kecil bagi sebagian orang, tetapi bagi penjual angkringan ini, angka itu adalah kunci pembuka pintu impian.
Saya bertanya mengapa harus lima juta. Ia menjelaskan dengan detail: untuk peralatan, bahan baku awal, dan sewa tempat. Tetapi, ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka. Ada kehangatan di matanya, kerinduan akan kampung halaman, dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik. Bagi dia, lima juta bukan hanya modal materi, melainkan modal keberanian untuk memulai hidup baru.

Di sinilah saya tersadar. Berapa banyak dari kita yang merasa “belum cukup modal”? Padahal, sering kali yang kurang bukanlah uang, melainkan keberanian untuk melangkah, keyakinan untuk memulai dengan apa yang ada.
Penjual angkringan itu, dengan lima juta di benaknya, sudah siap menghadapi risiko, membangun dari nol. Ia telah memiliki modal yang paling berharga: keberanian. Sedangkan kita, yang mungkin memiliki lebih banyak dari itu, sering kali masih terbelenggu oleh keraguan dan ketakutan.
Ukuran “cukup” memang sangat subjektif. Lima juta bagi penjual angkringan itu adalah “cukup”. Bagi kita? Mungkin lebih dari itu pun masih terasa kurang. Mungkin kita terlalu fokus pada apa yang belum kita punya, hingga lupa mensyukuri apa yang sudah ada.
Sore itu, saya meninggalkan angkringan dengan sebuah pertanyaan yang terus terngiang: apa yang sebenarnya kita tunggu? Apakah modal materi yang kurang? Atau keberanian untuk memulai? Penjual angkringan itu sudah punya rencana. Ia sudah punya modal keberanian. Bagaimana dengan kita? Kapan giliran kita untuk melangkah?